Jumat, 20 Januari 2017

Kisah Imam Syafii

Ilmu ushul fiqh adalah sebuah kajian luar biasa yang mampu meringkas begitu banyak teks yang memiliki konsekuensi hukum yang sama menjadi sebuah formula yang sederhana. Ilmu ini digunakan para ulama dalam mengambil kesimpulan hukum. Menyederhanakan masalah yang pelik menjadi mudah butuh kecerdasan dan pemahaman yang mendalam. Oleh karena itulah, seseorang yang menciptakan ilmu ushul fiqh ini pasti memiliki kecerdasan yang luar biasa dan pemahaman yang mendalam tentang ilmu-ilmu syariat. Ilmu ini pertama kali dirumuskan oleh Muhammad bin Idris asy-Syafii atau lebih dikenal dengan Imam Syafii.

Nasab dan Masa Pertumbuhannya
Beliau adalah Muhammad bin Idris bin al-Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin Saib bin Abdu Yazid bin Hasyim bin Abdul Muthalib bin Abdu Manaf. Nasab Imam Syafii dan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bertemu pada kakek mereka Abdu Manaf. Jadi, Imam Syafii adalah seorang laki-laki Quraisy asli. Adapun ibunya adalah seorang dari Bani Azdi atau Asad.

Imam Syafii dilahirkan pada tahun 150 H/767 M di Kota Gaza, Palestina. Tahun kelahiran beliau bertepatan dengan wafatnya salah seorang ulama besar Islam, yakni Imam Abu Hanifah rahimahullah. Ayahnya wafat saat Syafii masih kecil sehingga ibunya memutuskan untuk hijrah ke Mekah agar Syafii mendapatkan santunan dari keluarganya dan nasabnya pun terjaga.

Di Mekah, Syafii kecil mulai mempelajari bahasa Arab, ilmu-ilmu syariat, dan sejarah. Ia terkenal sebagai seoarang anak yang cerdas,  di usia enam atau tujuh tahun 30 juz Alquran sudah sempurna bersemayam di dalam dadanya. Keterbatasan ekonomi tidak menjadi penghalang baginya dalam menuntut ilmu, Syafii mencatat palajarannya di atas tulang-tulang hewan atau kulit-kulit yang berserakan. Namun ia dimudahkan dengan karunia Allah berupa daya hafal yang sangat kuat sehingga beban ekonomi untuk membeli buku dan kertas bisa terganti. Setelah beliau merasa cukup menuntut ilmu di Mekah, Madinah menjadi destinasi berikutnya dalam menimba ilmu. Di sana adaseorang ulama yang dalam ilmunya, yakni Imam Malik rahimahullah.

Proses Menuntut Ilmu
Saat menginjak usia 13 tahun, gubernur Mekah mendorongnya agar belajar ke Madinah di bawah bimbingan Imam Malik. Selama belajar kepada Imam Malik, sang imam negeri Madinah sangat terkesan dengan kemampuan yang dimiliki remaja dari Bani Hasyim ini. Kemampuan analisis dan kecerdasannya benar-benar membuat Imam Malik kagum sehingga Imam Malik menjadikannya sebagai asistennya dalam mengajar. Padahal kita ketahui, Imam Malik adalah seorang yang sangat selektif dan benar-benar tidak sembarangan dalam permasalahan ilmu agama, tapi kemampuan Syafii muda memang pantas mendapatkan tempat istimewa.
Di Madinah, Imam Syafii larut dalam lautan ilmu para ulama. Selain belajar kepada Imam Malik, beliau juga belajar kepada Imam Muhammad asy-Syaibani, salah seorang murid senior Imam Abu Hanifah. Di antara guru-guru Imam Syfaii di Madinah adalah Ibrahim bin Saad al-Anshari, Abdul Aziz bin Muhammad ad-Darawaridi, Ibrahim bin Abi Yahya, Muhammad bin Said bin Abi Fudaik, dan Abdullah bin Nafi ash-Sha-igh.

Adapun di Yaman, beliau belajar kepada Mutharrif bin Mazin, Hisyam bin Yusuf yang merupakan hakim di Kota Shan’a, Amr bin Abi Salama, salah seorang sahabat Imam al-Auza’i, dan Yahya bin Hasan. Sedangkan di Irak beliau belajar kepada Waki’ bin Jarrah, Abu Usamah Hamad bin Usamah al-Kufiyani, Ismail bin Aliyah, dan Abdullah bin Abdul Majid al-Bashriyani.
Dengan kesungguhannya dalam mempelajari ilmu syariat ditambah kecerdasan yang luar biasa, Imam Syafii mulai dipandang sebagai salah seorang ulama besar. Terlebih ketika gurunya yang mulia, Imam Malik wafat pada tahun 795, Imam Syafii yang baru menginjak usia 20 tahun dianggap sebagai salah seorang yan paling berilmu di muka bumi kala itu.

Di antara keistimewaan fikih Imam Syafii adalah beliau mampu menggabungkan dua kelompok yang memiliki sudut pandang yang berbeda dalam memahami fikih. Kelompok pertama dikenal dengan ahlul hadits, yaitu orang-orang yang mencukupkan diri dengan hadis tanpa butuh intepretasi atau analogi-analogi (qias) dalam menetapkan suatu hukum. Sedangkan kelompok lainnya dikenal dengan ahlu ra’yi atau mereka yang menggunakan hadis sebagai landasan penetapan hukum namun selain itu mereka juga memakai analogi-analogi dalam menetapkan hukum. Imam Syafii mampu mengkompromikan dua kelompok ini bisa menerima satu sama lainnya.

Ibadah Imam Syafii
Tidak diragukan lagi, seorang ulama yang terpandang selain memiliki keilmuan yang luas, mereka juga merupakan teladan dalam beribadah. Ar-Rabi’ mengatakan, “Imam Syafii membagi waktu malamnya menjadi tiga bagian: bagian pertama adalah untuk menulis, bagian kedua untuk shalat, dan bagian ketiganya untuk tidur.”

Di malam hari beliau tidak pernah terlihat membaca Alquran melalui mush-haf, akan tetapi bacaan beliau di malam hari hanya dilantunkan dalam shalat-shalatnya. Al-Muzani mengatakan, “Saat malam hari, aku tidak pernah sekalipun melihat asy-Syafii membaca Alquran melalui mush-haf. Ia membacanya saat sedang shalat malam (melalui hafalan pen.).”

Kefasihan Bahasa Imam Syafii
Selain menjadi bintang dalam ilmu fiqh, Imam Syafi’i juga dikenal dengan kefasihan dan pengetahuannya tentang bahasa Arab. Beliau belajar bahasa Arab kepada seorang Arab desa yang bahasa Arabnya fasih dan murni. Hal itu serupa dengan keluarga Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menitipkan beliau kepada ibu susunya yang berasal dari desa, tujuannya agar bahasa Arab Nabi berkembang menjadi bahasa Arab yang fasih ketika tumbuh dewasa. Ibnu Hisyam bercerita tentang kefasihan Imam Syafii, “Saya tidak pernah mendengar dia (Imam Syafi’i) menggunakan apa pun selain sebuah kata yang sangat tepat maknanya, seseorang tidak akan menemukan sebuah pilihan diksi bahasa Arab yang lebih baik dan lebih pas dalam mengungkapkan suatu kalimat.”

Perjalanan Hidupnya
Tidak lama setelah wafatnya Imam Malik, Imam Syafii ditugaskan pemerintah Abasiyah ke Yaman untuk menjadi hakim di wilayah tersebut. Namun beliau tidak lama memangku jabatan tersebut karena jabatan hakim secara tidak langsung menghubungkannya dengan dunia politik yang sering mengkompromikan antara kebohongan dengan kejujuran, dan beliau tidak merasa nyaman dengan hal yang demikian.

Setelah itu, beliau berpindah menuju Baghdad dan menyebarkan ilmu di ibu kota kekhalifahan tersebut. Kehidupan beliau di Baghdad dipenuhi dengan dakwah dan mengajar, bahkan beliau sempat berkunjung ke Suriah dan negeri-negeri di semenanjung Arab lainnya  untuk menyebarkan pemahaman tentang Islam. Sekembalinya ke Baghdad, kekhalifahan telah dipegang oleh al-Makmun.

Al-Makmun memiliki pemahaman yang menyimpang tentang Alquran. Ia menganut paham Mu’tazilah yang mengedepankan logika dibandingkan wahyu Alquran dan sunnah. Al-Makmun meyakini bahwasanya Alquran adalah makhluk, sama halnya seperti manusia. Pemahaman ini berkonsekuensi menyepadankan antara logika manusia dengan Alquran, artinya Alquran pun tidak mutlak benar sebagaimana akal manusia. Tentu saja keyakinan ini bertentangan dengan keyakinan Imam Syafii dan ulama-ulama Islam sebelum beliau yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah, yang kebenarannya absolut.

Al-Makmun memaksa semua orang agar memiliki pemahaman yang sama dengannya. Banyak para ulama ditangkap dan disiksa karena peristiwa yang dikenal dengan khalqu Alquran ini. Akhirnya, pada tahun 814, Imam Syafii hijrah menuju Mesir, negeri dimana beliau berhasil merumuskan ilmu ushul fiqh.

Wafatnya
Sebagaimana lazimnya manusia lainnya, sebelum wafat Imam Syafii juga merasakat masa-masa sakit. Dalam keadaan tersebut, salah seorang muridnya yang bernama al-Muzani mengunjunginya dan bertanya, “Bagaiaman keadaan pagimu?” Imam Syafii, “Pagi hariku adalah saat-saat pergi meninggalkan dunia, perpisahan dengan sanak saudara, jauh dari gelas tempat melepas dahaga, kemudian aku akan menghadap Allah. Aku tidak tahu kemana ruhku akan pergi, apakah ke surga dan aku pun selamat ataukah ke neraka dan aku pun berduka.” Kemudian beliau menangis.
Imam Syafii dimakamkan di Kairo pada hari Jumat di awal bulan Sya’ban 204 H/820 M. Beliau wafat dalam usia 54 tahun. Semoga Allah merahmati, menerima semua amalan, dan mengampuni kesalahan-kesalahan beliau.

======================

Yang lainnya mengisahkan:
Kisah Menakjubkan Tentang Imam Syafii, Mujtahid Terkemuka yang Menjadi Lahirnya Mazhab Syafii.


Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Idris bin al-’Abbas bin ‘Utsman bin asy-Syafi’i bin as-Saib bin ‘Ubaid bin ‘Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muthallib bin ‘Abdi Manaf. Dengan demikian nasab beliau bermuara kepada Abdu Manaf, kakek buyut Nabi saw. (Lihat: Siyar A’lâm an-Nubalâ’, X/5-6; Thabaqât asy-Syâfi’iyyah al-Kubrâ, II/71-72).

Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Makkah, beliau tidak lahir di Makkah, karena ayah beliau, Idris, merantau ke Syam. Beliau lahir di Ghaza (Palestina) pada tahun 150 Hijriah, tahun wafatnya Imam Abu Hanifah.

Beliau sudah yatim sejak usia dua tahun. Ibunya lalu membawa beliau ke kampung halaman di Makkah. Sejak kecil, sekalipun hidup dalam kemiskinan, beliau tak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau sering mengumpulkan pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma dan tulang unta untuk dipakai menulis.

Tentang kegiatan keilmuannya, Imam al-Baihaqi, dengan sanad dari Mush’ab bin Abdillah az-Zabiri, menuturkan, “Imam Syafi’i memulai aktivitas keilmuannya dengan belajar syair, sejarah dan sastra. Setelah itu ia menekuni fikih.”

Imam Syafi’i rahimahulLâh membagi waktu malamnya menjadi tiga: sepertiga untuk menulis, sepertiga untuk shalat malam dan sepertiganya untuk istirahat.

Sejak di Makkah Imam Syafi’i sudah hapal al-Quran tatkala berusia 7 tahun dan menghapal kitab Al-Muwattha’ karya Imam Malik tatkala umur 10 tahun. Itu pun hanya butuh waktu 9 hari saat beliau hendak berguru kepada Imam Malik di Madinah. Lalu pada usia 15 tahun beliau sudah mendapatkan ijazah untuk berfatwa dari gurunya, Muslim bin Khalid az-Zanji al-Makki.
Imam Syafi’i adalah juga imam dalam lughah (bahasa). Tentang ini, Ibnu Hisyam (penulis Sirah Nabi saw.) berkata, “Syafii adalah hujjah dalam bahasa Arab.” (Al-Wâfi bi al-Wafâyât, IXX/143).
Imam Syafii juga adalah seorang penyair. Kumpulan syair atau puisinya dibukukan dalam kitab Dîwân al-Imâm asy-Syâfi’i (Antologi Puisi Imam Syafii). Berikut adalah secuil bait syairnya:
Tlah kuhidupkan qâna’ah dalam jiwaku yang sebelumnya mati
Dengan menghidupkannya terjagalah harga diri ini
Beliau pun bertutur:
Jika tamak tlah menetap dalam jiwa hamba
Niscaya ia akan rendah dan hina-dina
Beliau pun bertutur:
Siapa berharap mulia tanpa rasa letih
Pasti ia habiskan usia demi perkara yang mustahil ia raih
Beliau pun bertutur:
Kau berharap kesuksesan, tapi kau banyak tidur setiap malam
Padahal para pencari mutiara pun harus menyelam di kedalaman
Beliau pun bertutur:
Tak sedikitpun resah akan esok hari terbetik di benakku
          Sebab esok hari pasti ada rezeki lain yang baru
*****
Begitu hebat dan luar biasanya Imam Syafi’i, banyak ulama besar yang mengagumi beliau, di antaranya adalah Abu Tsaur. Abu Tsaur pernah ditanya,

“Manakah yang lebih fakih, Syafi’i ataukah Muhammad bin al-Hasan (guru Imam Syafi’i, pen.)?”
Abu Tsaur menjawab, “Syafi’i lebih fakih dari Muhammad bin al-Hasan dan Abu Yusuf (keduanya adalah murid senior Abu Hanifah, pen.), lebih fakih dari Abu Hanifah, lebih fakih dari Hammad (guru Abu Hanifah), lebih fakih dari Ibrahim (guru Hammad), lebih fakih daripada ‘Alqamah (guru Ibrahim) dan lebih fakih dari al-Aswad (guru ‘Alqamah)” (Mukhtashar Târîkh Dimasyq, VI/434).
Imam Syafi’i begitu dicintai oleh banyak orang. Salah satunya oleh muridnya, Imam Hanbali. Betapa cintanya Imam Hanbali kepada gurunya, beliau pernah berkata, “Ada enam orang yang aku doakan setiap waktu sahur. Salah satunya adalah Imam Syafi’i.” (Târîkh al-Islâm li adz-Dzahabi, XIV/312).

Begitu seringnya Imam Hanbali mendoakan Imam Syafi’i hingga putra beliau, Abdullah, bertanya,
“Ayah, siapakah Imam Syafi’i itu. Aku mendengar Ayah banyak mendoakan beliau.”
Imam Hanbali menjawab, “Ananda, Imam Syafi’i itu seperti matahari bagi dunia dan seperti keselamatan bagi manusia. Lalu adakah pengganti bagi kedua kenikmatan ini?” (Adz-Dzahabi, Târikh al-Islâm, XIV/312).

Namun demikian, karena kebesarannya, ada saja orang-orang yang iri kepada beliau. Salah satunya adalah seorang ulama bermazhab Maliki yang bernama Asyhub. Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berkata, “Aku pernah mendengar Asyhub dalam sujudnya mendoakan agar Syafi’i meninggal. Lalu aku pun mengabarkan hal itu kepada Syafi’i.”
Dalam riwayat lain, Asyhub berdoa, “Ya Allah, matikanlah Syafi’i karena jika Engkau membiarkan dia hidup maka akan punah mazhab Imam Malik.”

Saat mendengar itu, Imam Syafi’i merasa heran. Beliau lalu bertutur, “Banyak orang berharap aku mati. Padahal jika aku mati, kematian itu bukanlah jalan yang aku tempuh sendirian.” (Lihat: Târîkh Dimasyq 51/428; Siyar A’lâm an-Nubalâ’, X/72, Al-Wâfi bi al-Wafayât, IX/165).

Selain kebesaran keilmuannya, Imam Syafii pun terkenal karena kepribadiannya yang luhur. Tentang ini, Thasy Kubri bertutur di dalam Miftâh as-Sa’âdah, “Para ulama ahli fikih, ushul, hadis, bahasa, nahwu dan disiplin ilmu lainnya sepakat bahwa Imam Syafi’i memiliki sifat amanah (dipercaya), ‘adalah (kredibilitas agama dan moral), zuhud, wara’, takwa, dermawan, perilakunya baik dan derajatnya tinggi.”

Imam Syafi’i juga ahli sedekah. Seluruh harta yang ia dapatkan segera ia sedekahkan kepada orang yang membutuhkan.

Meski dikenal ketakwaan, kewaraan dan kezuhudannya, Imam Syafi’i tetap merasa rendah dan hina di hadapan Allah SWT. Beliau pun sering mengkhawatirkan nasibnya di akhirat kelak. Karena itu beliau pun selalu banyak berdoa untuk memohon ampunan kepada Allah SWT (Lihat: Shifât ash-Shafwah, III/146).
Wa mâ tawfîqî illâ bilLâh.

 -- Biasakan SHARE untuk mendapatkan Kebermanfaatan --

Tidak ada komentar:

Posting Komentar